Hello, this is Jakarta.

SEJARAH

Sunda Kelapa (397–1527)

Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kalapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Padjadjaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti "ibu kota") dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibu kota Tarumanagara yang disebut Sundapura (bahasa Sanskerta yang berarti "Kota Sunda"). Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.

Jayakarta (1527-1619)

Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah, di mana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, wali kota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan pendudukan Pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta (aksara Dewanagari: जयकृत) yang berarti "kota kemenangan", Jayakarta berasal dari dua kata Sanskerta yaitu Jaya (जय) yang berarti "kemenangan" dan Karta (कृत) yang berarti "dicapai". Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan Banten.

Batavia (1619–1942)

Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. (Lihat Batavia). Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Sebagian berpendapat bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi.

Saat itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolonialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.

Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atau gemeente, yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Pada tahun 1935, Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah wilayah Jakarta Raya.

Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507. Batavia menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java di samping Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.

Djakarta (1942–1945)

Pendudukan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.

Jakarta (1945-sekarang)

Sejak kemerdekaan sampai sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Djakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Chusus Ibukota (DCI, sekarang dieja Daerah Khusus Ibukota/DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.

Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung permukiman kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, dan Pejompongan. Pusat-pusat permukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti Perum Perumnas.

Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula Poros Medan Merdeka- Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka -Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat permukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.

Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.

Pada Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang memakan korban banyak etnis Tionghoa. Gedung MPR/DPR diduduki oleh para mahasiswa yang menginginkan reformasi. Buntut kerusuhan ini adalah turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. (Lihat Kerusuhan Mei 1998).

INFRASTRUKTUR

Sebagai salah satu kota metropolitan dunia, Jakarta telah memiliki infrastruktur penunjang berupa jalan, listrik, telekomunikasi, air bersih, gas, serat optik, bandara, dan pelabuhan. Saat ini rasio jalan di Jakarta mencapai 6,2% dari luas wilayahnya. Selain jalan protokol, jalan ekonomi, dan jalan lingkungan, Jakarta juga didukung oleh jaringan Jalan Tol Lingkar Dalam, Jalan Tol Lingkar Luar, Jalan Tol Jagorawi, dan Jalan Tol Ulujami-Serpong. Pemerintah juga berencana akan membangun Tol Lingkar Luar tahap kedua yang mengelilingi kota Jakarta dari Bandara Soekarno Hatta-Tangerang- Serpong-Cinere-Cimanggis-Cibitung-Tanjung Priok.

Untuk ke kota-kota lain di Pulau Jawa, Jakarta terhubung dengan Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang bersambung dengan Jalan Tol Cipularang ke Bandung dan Jalan Tol Cipali ke Cirebon. Selain itu juga tersedia layanan kereta api yang berangkat dari enam stasiun pemberangkatan di Jakarta. Untuk ke Pulau Sumatra, tersedia ruas Jalan Tol Jakarta-Merak yang kemudian dilanjutkan dengan layanan penyeberangan dari Pelabuhan Merak ke Bakauheni.

Untuk ke luar pulau dan luar negeri, Jakarta memiliki satu pelabuhan laut di Tanjung Priok dan bandar udara yaitu:

  • Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten yang melayani penerbangan internasional dan domestik.
  • Bandara Halim Perdanakusuma yang banyak berfungsi untuk melayani penerbangan kenegaraan serta penerbangan domestik.

Untuk pengadaan air bersih, saat ini Jakarta dilayani oleh dua perusahaan, yakni PT. Aetra Air Jakarta untuk wilayah sebelah timur Sungai Ciliwung, dan PT. PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) untuk wilayah sebelah barat Sungai Ciliwung. Pada tahun 2015, kedua perusahaan ini mampu menyuplai air bersih kepada 60% penduduk Jakarta.

GEOGRAFI

Jakarta berlokasi di sebelah utara Pulau Jawa, di muara Ciliwung, Teluk Jakarta. Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter dpl. Hal ini mengakibatkan Jakarta sering dilanda banjir. Sebelah selatan Jakarta merupakan daerah pegunungan dengan curah hujan tinggi. Jakarta dilewati oleh 13 sungai yang semuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ciliwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan di sebelah barat berbatasan dengan provinsi Banten.

Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di Teluk Jakarta. Sekitar 105 pulau terletak sejauh 45 km (28 mil) sebelah utara kota.

LINGKUNGAN

Jakarta merupakan salah satu kota dengan udara terbersih di Indonesia. Salah satu faktor penentu keberhasilan tersebut adalah keberadaan kawasan Menteng dan Kebayoran Baru yang asri dan bersih.

Selain Menteng dan Kebayoran Baru, banyak wilayah lain di Jakarta yang sudah bersih dan teratur. Permukiman ini biasanya dikembangkan oleh pengembang swasta, dan menjadi tempat tinggal masyarakat kelas menengah. Pondok Indah, Kelapa Gading, Pulo Mas, dan Cempaka Putih, adalah beberapa wilayah permukiman yang bersih dan teratur. Namun di beberapa wilayah lain Jakarta, masih tampak permukiman kumuh yang belum teratur. Permukiman kumuh ini berupa perkampungan dengan tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi, serta banyaknya rumah yang dibangun secara berhimpitan di dalam gang-gang sempit. Beberapa wilayah di Jakarta yang memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi antara lain, Tanjung Priok, Johar Baru, Pademangan, Sawah Besar, dan Tambora.

Taman kota

Jakarta memiliki banyak taman kota yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Taman Monas atau Taman Medan Merdeka merupakan taman terluas yang terletak di jantung Jakarta. Di tengah taman berdiri Monumen Nasional yang dibangun pada tahun 1963. Taman terbuka ini dibuat oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1870) dan selesai pada tahun 1910 dengan nama Koningsplein. Di taman ini terdapat beberapa ekor kijang dan 33 pohon yang melambangkan 33 provinsi di Indonesia.

Taman Suropati terletak di kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Taman berbentuk oval dengan luas 16,322 m2 ini, dikelilingi oleh beberapa bangunan Belanda kuno. Di taman tersebut terdapat beberapa patung modern karya artis-artis ASEAN, yang memberikan sebutan lain bagi taman tersebut, yaitu "Taman persahabatan seniman ASEAN".

Taman Lapangan Banteng merupakan taman lain yang terletak di Gambir, Jakarta Pusat. Luasnya sekitar 4,5 ha. Di sini terdapat Monumen Pembebasan Irian Barat. Pada tahun 1970-an, taman ini digunakan sebagai terminal bus. Kemudian pada tahun 1993, taman ini kembali diubah menjadi ruang publik, tempat rekreasi, dan juga kadang-kadang sebagai tempat pertunjukan seni.

MAKANAN

Jakarta merupakan kota internasional yang banyak menyajikan makanan khas dari seluruh dunia. Di wilayah-wilayah yang banyak didiami oleh para ekspatriat asing, seperti di daerah Menteng, Kemang, Pondok Indah, dan daerah pusat bisnis Jakarta, tidak sulit untuk menjumpai makanan- makanan khas asal Eropa, China, Jepang dan Korea. Makanan-makanan ini biasanya dijual dalam restoran-restoran mewah.

Di Jakarta, dan seperti kota-kota lainnya di Indonesia, Rumah Makan Padang merupakan restoran yang paling banyak dijumpai. Hampir di setiap sudut kota, dengan mudahnya dijumpai rumah makan yang menyajikan masakan asal Minangkabau ini. Selain Masakan Minang, Jakarta juga memiliki makanan khasnya. Yang paling terkenal adalah Kerak Telor, Soto Betawi, Kue Ape, Roti Buaya, Combro, dan Nasi Uduk. Sebagai tempat bermukimnya berbagai etnis di Indonesia, di sini juga bisa ditemukan berbagai macam makanan tradisional dari daerah lainnya, seperti Rawon, Rujak Cingur, dan Kupang Lontong. Di Jakarta juga terdapat Warung Tegal jumlahnya ada lebih dari 34.000 warung di Jabodetabek.

KEBUDAYAAN

Budaya Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan ibu kota Indonesia yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.

Jakarta merupakan daerah tujuan urbanisasi berbagai ras di dunia dan berbagai suku bangsa di Indonesia, untuk itu diperlukan bahasa komunikasi yang biasa digunakan dalam perdagangan yaitu Bahasa Melayu. Penduduk asli yang berbahasa Sunda pun akhirnya menggunakan bahasa Melayu tersebut.

Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng, dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Melayu dialek Betawi. Untuk penduduk asli di Kampung Jatinegara Kaum, mereka masih kukuh menggunakan bahasa leluhur mereka yaitu bahasa Sunda.

Bahasa daerah juga digunakan oleh para penduduk yang berasal dari daerah lain, seperti Jawa, Sunda, Minang, Batak, Madura, Bugis, Inggris dan Tionghoa. Hal demikian terjadi karena Jakarta adalah tempat berbagai suku bangsa bertemu. Untuk berkomunikasi antar berbagai suku bangsa, digunakan Bahasa Indonesia.

Selain itu, muncul juga bahasa gaul yang tumbuh di kalangan anak muda dengan kata-kata yang kadang-kadang dicampur dengan bahasa asing. Bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang paling banyak digunakan, terutama untuk kepentingan diplomatik, pendidikan, dan bisnis. Bahasa Mandarin juga menjadi bahasa asing yang banyak digunakan, terutama di kalangan pebisnis Tionghoa.

BEBERAPA PEMANDANGAN JAKARTA